Rabu, 20 April 2011

MENGHITUNG BINTANG


Kado kecil bwt Bintang, putra tercinta mb Yully Riswati :


“Jangan terus mendongak ke langit! Nanti sakit lehermu.”
“Aku sedang menghitung bintang.”
Ia tertawa, di raihnya daguku, memaksaku menatapnya.
“Kau tak kan mampu. Biarkan mereka ada di langit tanpa seorangpun tahu jumlahnya. “
“Tidak!” aku berkeras. “Aku akan tetap menghitung bintang ini dan mencoba bicara padanya. Dia akan mendengar!” aku memalingkan wajah, tak ingin melihat raut prihatin dari mata itu.
“Dia katamu? Dia tak kan mendengar. Mana mungkin? Dia sudah membohongimu Luna. Sudah berapa lama dia tak kembali dan sampai berapa lama lagi kau harus menunggunya?”
Aku menggeleng, lelah. Bicara padanya sungguh terasa melelahkan.
“Sudah kubilang, ia akan merasakannya setiap kali aku rindu dan bicara pada bintang…” suaraku lirih, tak berharap ia mendengar karena sudah puluhan kali kalimat itu kulontarkan.
“Luna, kau sungguh naïf. Lupakan dia dan lanjutkan hidupmu!”
Aku terdiam. Kenapa ia tak mau mengerti aku?
“Luna…”
“Pergilah, kau membuatku harus menghitung dari awal.” Aku mendorong bahunya halus. Rainy menatapku lekat. Ada kabut di matanya yang siap luruh. Selalu begitu setiap kali ia melihatku menghitung bintang.
Aku menutup pintu, menguncinya sekaligus ketika tubuh Rainy sudah melewati ambang pintu. Aku kembali ke balkon kamarku, tak peduli malam telah begitu larut. Namun bukankah bintang akan semakin ramai ketika malam kian menua?
Aku tersenyum dan mulai menghitung lagi.
Satu… dua… tiga…
***
“Aku akan segera kembali Luna. Lalu kita akan menghitung bintang bersama.”
“Sungguh?”
Dia mengangguk.
“Aku pergi juga demi dirimu, masa depan kita. Bersabarlah…”
Airmataku mulai luruh, tak pernah terbayang berpisah dengannya. Langitku. Matahariku, Awanku…
“Jika kau merindukanku, bicaralah pada bintang yang paling terang, maka aku akan merasakannya.”
Lalu dia pergi. Hari-hari kuhabiskan bersama canda bintang-bintang yang seperti tak lelah bermunculan dan mengacaukan hitunganku. Hingga waktu berloncatan menjelma hitungan tahun.
“Langit sudah menikahi lagi di negeri seberang. Dia sudah melupakanmu.” Suara Rainy yang selalu tanpa basa-basi menyilet dinding hatiku.
Aku tertawa. Kabar itu tak dapat dipercaya. Langit tak begitu. Tak kan pernah membiarkan awan menjelma dalam hatiku, lalu berubah rinai. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian dia tetap tak datang, aku masih setia menghitung bintang.
Dan kini, sudah berapa lamakah waktu tak mengembalikan sosoknya padaku? Aku beralih ke hadapan cermin, menatapnya lekat dan pada akhirnya tertunduk oleh sorot mataku sendiri. Aku mendesah, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh cermin dan kalender dari kamarku. Tak perlu menghitung waktu dan melihat garis usia karena aku yakin dia akan datang.
“Luna, ada tamu!” suara Rainy di luar pintu terdengar bergetar. Aku mengerutkan kening. Tamu untukku tengah malam begini?
Seraut wajah tampan menungguku di ruang tamu. Aku tertegun. Langit!
“Kau pulang?”
Suaraku bergetar. Persis suara Rainy tadi. Sosok ini jugakah penyebabnya? Aku mengerjabkan mata menatap wajah itu. teduh matanya yang serupa telaga, rambut ombaknya yang hitam lebat, tubuh tinggi tegapnya… tanpa sadar, aku beringsut menghampirinya. Betapa ingin aku memeluk dia, langitku!
“Maaf Ibu Luna, saya bukan Langit, tapi saya putranya. Saya kemari menyampaikan pesan Ayah.”
Aku tertegun. Sayup kudengar sehela nafas yang kuyakini milik Rainy dari balik tembok. Bukan tangis, tapi suara itu menyadarkanku untuk mencerna kata-kata yang dilontarkan pemuda di hadapanku. Perlahan, aku menghela tubuhku ke hadapan cermin besar di sudut ruang, menekuri sesosok tubuh renta dengan kulit keriput dan rambut yang sebagian memutih.
 “Tetaplah mengitung bintang sampai aku kembali Luna. Dan jika aku tak juga kembali biarkan bintang lain datang karena kaulah ratu mereka, Luna, rembulanku…”

Bandar Lampung, 19 april 2011
Terinspirasi dari lagu “Bicara Pada Bintang- nya Rossa, hehehe…”



1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren... ^_*

Rabu, 20 April 2011

MENGHITUNG BINTANG


Kado kecil bwt Bintang, putra tercinta mb Yully Riswati :


“Jangan terus mendongak ke langit! Nanti sakit lehermu.”
“Aku sedang menghitung bintang.”
Ia tertawa, di raihnya daguku, memaksaku menatapnya.
“Kau tak kan mampu. Biarkan mereka ada di langit tanpa seorangpun tahu jumlahnya. “
“Tidak!” aku berkeras. “Aku akan tetap menghitung bintang ini dan mencoba bicara padanya. Dia akan mendengar!” aku memalingkan wajah, tak ingin melihat raut prihatin dari mata itu.
“Dia katamu? Dia tak kan mendengar. Mana mungkin? Dia sudah membohongimu Luna. Sudah berapa lama dia tak kembali dan sampai berapa lama lagi kau harus menunggunya?”
Aku menggeleng, lelah. Bicara padanya sungguh terasa melelahkan.
“Sudah kubilang, ia akan merasakannya setiap kali aku rindu dan bicara pada bintang…” suaraku lirih, tak berharap ia mendengar karena sudah puluhan kali kalimat itu kulontarkan.
“Luna, kau sungguh naïf. Lupakan dia dan lanjutkan hidupmu!”
Aku terdiam. Kenapa ia tak mau mengerti aku?
“Luna…”
“Pergilah, kau membuatku harus menghitung dari awal.” Aku mendorong bahunya halus. Rainy menatapku lekat. Ada kabut di matanya yang siap luruh. Selalu begitu setiap kali ia melihatku menghitung bintang.
Aku menutup pintu, menguncinya sekaligus ketika tubuh Rainy sudah melewati ambang pintu. Aku kembali ke balkon kamarku, tak peduli malam telah begitu larut. Namun bukankah bintang akan semakin ramai ketika malam kian menua?
Aku tersenyum dan mulai menghitung lagi.
Satu… dua… tiga…
***
“Aku akan segera kembali Luna. Lalu kita akan menghitung bintang bersama.”
“Sungguh?”
Dia mengangguk.
“Aku pergi juga demi dirimu, masa depan kita. Bersabarlah…”
Airmataku mulai luruh, tak pernah terbayang berpisah dengannya. Langitku. Matahariku, Awanku…
“Jika kau merindukanku, bicaralah pada bintang yang paling terang, maka aku akan merasakannya.”
Lalu dia pergi. Hari-hari kuhabiskan bersama canda bintang-bintang yang seperti tak lelah bermunculan dan mengacaukan hitunganku. Hingga waktu berloncatan menjelma hitungan tahun.
“Langit sudah menikahi lagi di negeri seberang. Dia sudah melupakanmu.” Suara Rainy yang selalu tanpa basa-basi menyilet dinding hatiku.
Aku tertawa. Kabar itu tak dapat dipercaya. Langit tak begitu. Tak kan pernah membiarkan awan menjelma dalam hatiku, lalu berubah rinai. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian dia tetap tak datang, aku masih setia menghitung bintang.
Dan kini, sudah berapa lamakah waktu tak mengembalikan sosoknya padaku? Aku beralih ke hadapan cermin, menatapnya lekat dan pada akhirnya tertunduk oleh sorot mataku sendiri. Aku mendesah, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh cermin dan kalender dari kamarku. Tak perlu menghitung waktu dan melihat garis usia karena aku yakin dia akan datang.
“Luna, ada tamu!” suara Rainy di luar pintu terdengar bergetar. Aku mengerutkan kening. Tamu untukku tengah malam begini?
Seraut wajah tampan menungguku di ruang tamu. Aku tertegun. Langit!
“Kau pulang?”
Suaraku bergetar. Persis suara Rainy tadi. Sosok ini jugakah penyebabnya? Aku mengerjabkan mata menatap wajah itu. teduh matanya yang serupa telaga, rambut ombaknya yang hitam lebat, tubuh tinggi tegapnya… tanpa sadar, aku beringsut menghampirinya. Betapa ingin aku memeluk dia, langitku!
“Maaf Ibu Luna, saya bukan Langit, tapi saya putranya. Saya kemari menyampaikan pesan Ayah.”
Aku tertegun. Sayup kudengar sehela nafas yang kuyakini milik Rainy dari balik tembok. Bukan tangis, tapi suara itu menyadarkanku untuk mencerna kata-kata yang dilontarkan pemuda di hadapanku. Perlahan, aku menghela tubuhku ke hadapan cermin besar di sudut ruang, menekuri sesosok tubuh renta dengan kulit keriput dan rambut yang sebagian memutih.
 “Tetaplah mengitung bintang sampai aku kembali Luna. Dan jika aku tak juga kembali biarkan bintang lain datang karena kaulah ratu mereka, Luna, rembulanku…”

Bandar Lampung, 19 april 2011
Terinspirasi dari lagu “Bicara Pada Bintang- nya Rossa, hehehe…”



1 komentar:

Pages