Rabu, 13 April 2011

HITAM PUTIH

Putih, bersih, suci.
Gaun pengantin putih itu tergeletak diranjangku. Menerorku dengan kesuciannya.
Aku tak pantas memakainya. Bukan aku. Bukan orang orang hitam sepertiku. Karena warna yang tercipta akan sangat kontras, tak pantas.  Bagaimana mungkin dia, sang malaikat yang menguarkan aura putih itu memintaku mengenakan gaun yang hanya pantas dipakai oleh bidadari saja. Padahal hitamku jelas terlukis. Ia tahu.
“aku pahami jalan hidupmu sebagai garis takdir. Hitam itu hanya warna. Izinkan aku berusaha mengembalikan dirimu kembali bidadari, putih meski sedikit demi sedikit…”
Itu yang dikatakannya, mengapa tekadnya begitu kuat? Tak takutkah ia jika putihnya ternoda? Dia tak kan mendapatkan apapun dariku selain rasa kecewa. Bahkan mungkin… kehancuran.
Aku membuka sedikit pintu kamar, mengintip kesibukan dari celah pintu. Orang orang lalu lalang mempersiapkan pernikahanku. Ohh…pernikahanku tinggal menunggu hitungan jam saja. Bagaimana ini?
Pintu kamarku diketuk. Ibu masuk dan menatapku dalam dalam.
“jangan khawatirkan apapun. Bukankah dia telah menerimamu apa adanya? Dia tahu semua tentangmu dan jika ia masih ingin menikahimu, itu adalah karunia dari Allah. Hadiah atas pertobatanmu..”
ibu mengelus kepalaku pelan. Penuh sayang. Namun sedetikpun aku tak berani menatap mata beningnya. Bu, semoga tidak kau lihat luka yang masih harus kusembunyikan. Luka yang menggores hampir seluruh tubuh hitamku. Tak mungkin kubuka karena itu akan membuatmu berduka.
“tidurlah. Besok pagi pagi kau harus sudah bangun. Lihat, gaun itu menantimu…”
Ia tersenyum sambil menunjuk gaun putih itu. hatiku berdesir.
Putih.
Ohh… betapa takutnya aku akan warna itu. karena ia ‘musuhku’
Ibu berlalu, menutup pintu kamar, meninggalkanku dalam senyap. Kamar ini, esok akan menjadi kamar pengantin. Nuansa putih - ohh…lagi lagi putih – yang mendominasi dekorasi membuatku mulai gemetar.
Aku menerima pinangan laki laki itu karena tahu betapa ingin Ibu melihatku menikah. Laki laki putih itu, mungkin adalah pilihan terbaik bagi gadis manapun. Kecuali aku. Aku tak kuasa menolak saat melihat mata ibu yang memohon. Padahal hatiku gamang. Ia putih. Aku hitam. Bagaimana mungkin bisa disatukan?
Dan kini, aku berada dipersimpangan. Masih ada beberapa jam lagi untuk membuat keputusan. Menikahinya berarti menghancurkan hidupnya. Membatalkan pernikahan sama saja mnghancurkan hati Ibu. Mana yang harus kupilih?
Aku memejamkan mata. Namun siluet itu kembali membayang. Obat obatan laknat, jarum suntik, tes darah..
HIV
Aku tersentak. Bagaimana mungkin aku melakukan ini? Bagaiamana mungkin aku menodainya putihnya dengan hitamku? membiarkannya berubah warna menjadi kelabu. Warna yang suram, tak hidup, tak enak dipandang mata. Bahkan bagiku ia bukan warna.
Dan jika nantinya ia menyiramiku, berarti tunas yang akan tumbuhpun semua akan kelabu, layu…
Itu tak boleh terjadi…
Dan sejam kemudian, disinilah aku. Mengemas gerimis sendiri. Mencoba berdamai dengan hati. Tak kan kubiarkan putih malaikat itu ternoda oleh hitamku.
Ibu, maafkan aku. Kuharap, suatu saat nanti kau akan tahu dengan caramu. Kau pasti mengerti.

0 komentar:

Rabu, 13 April 2011

HITAM PUTIH

Putih, bersih, suci.
Gaun pengantin putih itu tergeletak diranjangku. Menerorku dengan kesuciannya.
Aku tak pantas memakainya. Bukan aku. Bukan orang orang hitam sepertiku. Karena warna yang tercipta akan sangat kontras, tak pantas.  Bagaimana mungkin dia, sang malaikat yang menguarkan aura putih itu memintaku mengenakan gaun yang hanya pantas dipakai oleh bidadari saja. Padahal hitamku jelas terlukis. Ia tahu.
“aku pahami jalan hidupmu sebagai garis takdir. Hitam itu hanya warna. Izinkan aku berusaha mengembalikan dirimu kembali bidadari, putih meski sedikit demi sedikit…”
Itu yang dikatakannya, mengapa tekadnya begitu kuat? Tak takutkah ia jika putihnya ternoda? Dia tak kan mendapatkan apapun dariku selain rasa kecewa. Bahkan mungkin… kehancuran.
Aku membuka sedikit pintu kamar, mengintip kesibukan dari celah pintu. Orang orang lalu lalang mempersiapkan pernikahanku. Ohh…pernikahanku tinggal menunggu hitungan jam saja. Bagaimana ini?
Pintu kamarku diketuk. Ibu masuk dan menatapku dalam dalam.
“jangan khawatirkan apapun. Bukankah dia telah menerimamu apa adanya? Dia tahu semua tentangmu dan jika ia masih ingin menikahimu, itu adalah karunia dari Allah. Hadiah atas pertobatanmu..”
ibu mengelus kepalaku pelan. Penuh sayang. Namun sedetikpun aku tak berani menatap mata beningnya. Bu, semoga tidak kau lihat luka yang masih harus kusembunyikan. Luka yang menggores hampir seluruh tubuh hitamku. Tak mungkin kubuka karena itu akan membuatmu berduka.
“tidurlah. Besok pagi pagi kau harus sudah bangun. Lihat, gaun itu menantimu…”
Ia tersenyum sambil menunjuk gaun putih itu. hatiku berdesir.
Putih.
Ohh… betapa takutnya aku akan warna itu. karena ia ‘musuhku’
Ibu berlalu, menutup pintu kamar, meninggalkanku dalam senyap. Kamar ini, esok akan menjadi kamar pengantin. Nuansa putih - ohh…lagi lagi putih – yang mendominasi dekorasi membuatku mulai gemetar.
Aku menerima pinangan laki laki itu karena tahu betapa ingin Ibu melihatku menikah. Laki laki putih itu, mungkin adalah pilihan terbaik bagi gadis manapun. Kecuali aku. Aku tak kuasa menolak saat melihat mata ibu yang memohon. Padahal hatiku gamang. Ia putih. Aku hitam. Bagaimana mungkin bisa disatukan?
Dan kini, aku berada dipersimpangan. Masih ada beberapa jam lagi untuk membuat keputusan. Menikahinya berarti menghancurkan hidupnya. Membatalkan pernikahan sama saja mnghancurkan hati Ibu. Mana yang harus kupilih?
Aku memejamkan mata. Namun siluet itu kembali membayang. Obat obatan laknat, jarum suntik, tes darah..
HIV
Aku tersentak. Bagaimana mungkin aku melakukan ini? Bagaiamana mungkin aku menodainya putihnya dengan hitamku? membiarkannya berubah warna menjadi kelabu. Warna yang suram, tak hidup, tak enak dipandang mata. Bahkan bagiku ia bukan warna.
Dan jika nantinya ia menyiramiku, berarti tunas yang akan tumbuhpun semua akan kelabu, layu…
Itu tak boleh terjadi…
Dan sejam kemudian, disinilah aku. Mengemas gerimis sendiri. Mencoba berdamai dengan hati. Tak kan kubiarkan putih malaikat itu ternoda oleh hitamku.
Ibu, maafkan aku. Kuharap, suatu saat nanti kau akan tahu dengan caramu. Kau pasti mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages